
Jakarta, gaptacyber.com - Richard William selaku Ketua Umum Perkumpulan Gerakan Advokasi Pengacara Tanah Air atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pengacara GAPTA, yang juga Ketua Umum Barisan Kepemudaan Republik Indonesia BK-RI sekaligus Pendiri dan Pengacara Forum Wartawan Jaya Indonesia FWJI dalam Pers Releasenya.
Menurut Richard hal tersebut terlihat nyata setelah Mahkamah Agung menerbitkan aturan hukum tanpa didasari hukum dan ketentuan yang ada dalam perundang-undangan yang berlaku sebagaimana Sema tahun 1976.
Tepatnya tanggal 16 Desember 1976 Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 9. Yang mana isi dari surat edaran tersebut sering digunakan sebagai sarana dan atau alat guna melindungi Para Hakim yang melakukan Mal Praktek Hukum, dan juga melindungi Para Hakim yang ber-SDM rendah memimpin jalannya persidangan, dengan wujud nyata hakim sering bertindak sewenang-wenang atau main hakim sendiri.
Tak hanya itu saja Mahkamah Agung juga mengeluarkan Surat Edaran Ditjen Badilum pada tahun 2022, yang isinya mengatur tentang kewajiban Berita Acara Sumpah atau BAS.
Yang mana kalau kita lihat dan perhatikan ketentuan Pasal 4 ayat (1), Jo. Pasal 3 ayat (1) huruf f, Jo. Pasal 32 ayat (4) Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, jelas ketentuan tentang BAS itu tidak ada sama sekali yang bisa memenuhi dan atau dikatakan tidak bisa diberlakukan menurut hukum.
Dikarenakan menurut Richard. Dalam ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang Undang Advokat mengatur batas waktu dua tahun sejak diundangkan. Yaitu tanggal 5 April 2003, yang berarti batas kadaluarsanya ketentuan tersebut pada tanggal 5 April 2005.
Namun pada kenyataannya Organisasi yang mengaku Organisasi Advokat KAI yang didirikan pada tahun 2008 dan FERARI yang didirikan pada tahun 2017, tetap dilakukan kewajiban Berita Acara Sumpah.
Padahal Mahkamah Agung tau tentang aturan itu. Tentunya tindakan tersebut termasuk dari bagian Kudeta Konstitusi, dan anehnya tetap dibudayakan dan atau dilestarikan guna sebagai alat dan sarana bagi Para Hakim dilingkungan Mahkamah Agung untuk memonopoli hukum dan melecehkan pembuat aturan hukum itu sendiri yang dalam hal ini Presiden dan DPR.
Karena satu satunya organisasi yang tetap konsisten dan terus memperjuangkan demi tegaknya Konsititusi seperti Organisasi Pengacara GAPTA, terus diberlakukan upaya pencekalan dengah dalih hukum Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Advokat. Padahal Undang Undang Advokat bukan terdiri dari satu Pasal melainkan terdiri dari 36 Pasal, yang salah satunya harus memenuhi ketentuan Pasal 32 ayat (4) ujar Richard.
Richard menjelaskan. Bila ada organisasi yang tidak sama sekali bisa memenuhi ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang Undang Advokat tapi dikatakan Advokat. Maka ini merupakan langkah nyata Mahkamah Agung melegalkan tindakan Kudeta Konstitusi terhadap Presiden, DPR dan Mahkamah Konstitusi.
Maka bila hal ini terus dibiarkan oleh Para Wakil Rakyat yang dalam hal ini DPR RI dan Pemerintah yang dalam hal ini Presiden. Maka upaya pemberantasan korupsi yang digaungkan selama ini oleh Pemerintah hanya bohong belaka dan merupakan bentuk nyata hukum dijadikan alat dan atau sarana guna menghukum lawan lawan politiknya belaka!
Richarad menuding. Terbukti banyak kasus hukum prosesnya tidak jelas dan tidak transparan, sebagaimana contoh nyata temuan Jaksa Agung terkait suap satu triliun di Mahkamah Agung yang tidak pernah diungkap darimana saja sumbernya dan atau kemana saja uang hasil korupsi sebanyak itu mengalir.
Ini jelas bukti bahwa hukum dijadikan sarana oleh Mahkamah Agung bukan sebagai alat guna menegakkan hukum, tapi sebagai alat bagi pihak pihak yang tidak bertanggung jawab guna melakukan pesanan hukum untuk memenuhi keinginanya. Karena hukum alat yang paling ampuh buat membungkam target yang diinginkan
Dan dampak Politiknya Negara Indonesia akan bubar dalam waktu dekat bila tidak ada langkah nyata dari semua pihak. Karena masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan yang namanya Aparat Penegak Hukum di Peradilan, tentunya masyarakat juga bisa melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (mengkudeta). Karena Pemerintah dianggap gagal menjalankan fungsinya sebagai pelindung masyarakat dari kejahatan hukum yang justeru dilakukan oleh Aparat Hukum yang dalam hal ini biangnya adalah Mahkamah Agung tutup Ricahrd# Red.GC.