Iklan

terkini

Ancaman Kemerdekaan Pers Sejumlah Pasal Draf Revisi UU Penyiaran

Staff Redaksi GAPTA Cyber
5/11/24, 18:56 WIB Viewer Today Last Updated 2024-06-27T07:26:45Z

Tapteng, Gaptacyber.com - DPR-RI bersama Pemerintah rencana merevisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 


Rencana ini telah memasuki tahap penyelesaian draf revisi UU Penyiaran. siaran pers Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Rabu 11/05/2024 yang diterima GAPTA CYBER COM dan GAPTA TV. dari Pengurus Pusat IJTI Ketua Umum. Herik Kurniawan. Sekjen Usmar Al Marwan dari Jakarta.


Draf revisi UU Penyiaran merupakan inisiasi DPR-RI telah dibahas Badan Legislasi (Baleg) adalah salah satu alat kelengkapan DPR-RI yang khusus menangani bidang legislasi.


IJTI menaruh perhatian terhadap draf revisi UU Penyiaran baik dari sisi proses penyusunan maupun subtansi Baleg 27/03/2024.


IJTI menyayangkan draf revisi UU Penyiaran terkesan disusun tidak cermat dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers terlebih penyusunan tidak melibatkan berbagai pihak seperti Organisasi Profesi Jurnalis atau komunitas pers. 


Dalam darf revisi UU Penyiaran terdapat sejumlah pasal yang menjadi perhatian khusus bagi IJTI. 


Pertama, Pasal 50 B ayat 2 huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya Jurnalistik investigasi. 


IJTI memandang pasal tersebut telah menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan, 


Pertanyaan mengapa RUU melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya Jurnalistik investigasi?. 


Selama karya memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik maka tidak boleh ada yang melarang karya Jurnalistik Investigasi disiarkan di Televisi. 


Secara subtansi pasal pelarangan tayangan eksklusif Jurnalistik investigasi di Televisi bisa diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman terhadap kemerdekaan pers di tanah air. 


Upaya ini sebagai ancaman serius bagi kehidupan Pers yang tengah dibangun bersama dengan penuh rasa tanggung jawab. 


Dikhawatirkan revisi RUU Penyiaran akan menjadi alat kekuasan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengkebiri kerja-kerja Jurnalistik yang profesional dan berkualitas.


Kedua, Pasal 50 B ayat 2 huruf k, penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. 


Pasal ini sangat multi tafsir terlebih yeng menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik. 


IJTI memandang pasal yang multi tafsir dan membingungkan berpotensi menjadi alat kekuasan untuk membungkam dan mengkriminalisasikan Jurnalis/Pers. 


Kita sepakat bahwa sistem tata negara menggunakan demokrasi, dan pers merupakan pilar keempat dari demokrasi. 


Pers memiliki tanggung jawab sebagai control sosial agar proses bernegara berjalan transparan, akuntable dan sepenuhnya memenuhi hak-hak publik. 


Ketiga, Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2 yang menyebutkan penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan Jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia, (KPI) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 


Pasal ini harus dikaji ulang karena bersinggungan dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengamanatkan penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers. 


IJTI juga memandang bahwa penyelesaian sengketa Jurnalistik penyiaran di KPI berpotensi mengintervensi kerja-kerja Jurnalistik yang profesional, mengingat KPI merupakan lembaga yang dibentuk melalui keputusan politik di DPR-RI. 


Sesuai dengan UU Pers telah jelas bahwa komunitas Pers mendapat mandat untuk membuat regulasi sendiri dalam rangka mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional dan berkualitas melalui selft regulation. 


Oleh karena itu setiap sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik baik penyiaran, cetak, digital (online) hanya bisa diselesaikan di Dewan Pers. 


Langkah ini guna memastikan bahwa kerja-kerja jurnalistik yang profesional, berkualitas dan bertanggungjawab bisa berlangsung independent serta tidak ada intervensi dari pihak manapun. 


Menyikapi hal tersebut, IJTI menyatakan sikap sebagai berikut:

01. Menolak dan meminta agar sejumlah pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers dicabut


02. Meminta DPR mengkaji kembali draf revisi RUU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak termasuk organisasi jurnalis serta public


03. Meminta kepada semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreativitas individu di berbagai platform. (Demak MP Panjaitan/Pance)

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Ancaman Kemerdekaan Pers Sejumlah Pasal Draf Revisi UU Penyiaran

Terkini

Iklan