Iklan

terkini

MH Manulang Pendiri Surat Kabar Berbahasa Batak "Binsar Sinondang Batak"

Staff Redaksi GAPTA Cyber
4/14/24, 09:04 WIB Viewer Today Last Updated 2024-06-27T07:26:45Z

Tapteng, Gaptacyber.com - Pdt. Mangihut Mangaraja Hezekiel Manullang (20 Desember 1887–20 April 1979), dikenal sebagai Mangaraja Hezekiel Manullang atau M.H. Manullang.


Dijuluki oleh Belanda sebagai Tuan Manullang, adalah seorang Pendeta di Tanah Batak yang mendirikan Hatopan Kristen Batak. 


Ia berasal dari Bangkara yang sekarang Kabupaten Samosir Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dari keluarga pengikut Sisingamangaraja.


Pada tahun 1918, dalam Kongres Hatopan Kristen Batak, Mangaraja Hezekiel Manullang terpilih menjadi ketua dengan Guru Polin Siahaan sebagai wakil ketua.


Ia juga merupakan Pahlawan Perintis Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan pelopor semangat kemandirian Gereja di Tanah Batak yang berkiprah dari tahun 1887 hingga 1979.


Mangihut Hezekiel Manullang 

Lahir : 20 Desember 1887 di Peanajagar, Silindung, Bataklanden, Keresidenan Tapanuli yang sekarang Kota Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara (Taput) Provinsi Sumatera Utara (Sumut)

Wafat 20 April 1979 (umur 91) di Jakarta.

Orang tua Singal Daniel Manullang (ayah)

Chaterine Aratua Sihite (ibu)


MH. Manullang pernah mengenyam pendidikan di Singkola Anak ni Raja di Narumonda, Porsea yang sekarang Kabupaten Toba Provinsi Sumatera Utara (Sumut) pada tahun 1903, namun diberhentikan pada tahun 1905. 


Ia diberhentikan karena terlalu kritis terhadap Singkola Anak ni Raja. Salah satu kritiknya adalah mempertanyakan masa depan siswa tamatan Singkola Anak ni Raja


Tahun 1905, MH Manullang menerbitkan surat kabar berbahasa Batak "Binsar Sinondang Batak" di Padang. 


Lewat Surat Kabar itu, MH Manullang mengawali gerakan membuka mata orang Batak agar memperjuangkan nasibnya sendiri. 


Ia juga mulai mengkritik tindakan Pemerintah Kolonial Belanda, yang menyakiti jiwa masyarakat dengan kerja rodi.


Ia melanjutkan pendidikan sekolah di Methodist Senior Cambridge School (MSCS), Singapura, dari tahun 1907 hingga 1910.


Aktivitas pergerakan

Tuan Manullang menentang Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, karena penggunaan tanah pribumi kepada perkebunan besar tanpa menghiraukan hak rakyat. 


Pemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan konsesi (hak erfpacht) kepada perkebunan besar tanpa memperhatikan penguasaan marga-marga dalam struktur kepemilikan tanah orang Batak.


Perjuangan MH menentang penjajah semakin intens setelah Pemerintah Belanda, melalui perantaraan kesultanan-kesultanan ciptaannya di Daerah Sumatra Timur, membagi-bagi tanah pribumi kepada perkebunan besar tanpa menghiraukan hak rakyat. 


Tanah dinyatakan milik “kesultanan” yang kemudian disewakan kepada Belanda. 


Pemerintah Kolonial itu lalu memberikan konsesi kepada pemodal perkebunan untuk mengolahnya. 


Rakyat yang ingin menggarap tanah harus menyewa kepada Pemilik Afdeling. Penguasaan atas tanah ini menyengsarakan rakyat. Padahal, dari tanahlah sumber kehidupan rakyat diperoleh.


Akal-akalan itulah yang ditentang oleh MH Manullang. 


Dia menyadarkan, menghimpun dan menyuarakan tuntutan masyarakatnya dengan menerbitkan Surat Kabar Suara Batak  pada tahun 1919. 


Sebagai Pemimpin Redaksi (Pemred) sekaligus editor, ia menyuarakan semangat anti kolonialisme.


MH Manullang juga pernah menulis kasus Pansur Batu pada Surat Kabar Pustaha, yang terbit di Padang Sidempuan. (Kota Padang Sidempuan) Sumut.


Pada Pustaha edisi 4 Juli 1919, MH Manullang menulis: “Teman-teman Batak! Dengan sangat menyesal saya memberitahukan kepada Saudara-saudara: tanah di Pansurbatu di subdistrik Tarutung telah dicuri oleh pengisap darah (kapitalis bermata putih). 


Ada ribuan pohon kemenyan dan ratusan bau lahan yang ditanami padi, milik saudara-saudara kita, tetapi Pemerintah di Tapanuli tidak melarangnya.


Sekarang kita mengetahui bahwa Pemerintah hanyalah bersandiwara.” (Lance Castles: 2001). 


Gugatannya terhadap insiden Pansur Batu mengantarkannya ke depan pengadilan kolonial di Padang Sidempuan. 


Dengan tegar, ia membela dirinya sendiri di depan pengadilan dan menggugat penindasan Belanda kepada bangsa Indonesia. 


Semangat kebangsaan yang ia kobarkan di depan pengadilan dan semangat anti kolonialisme membuat ia memprakarsai Persatuan Tapanuli (1921) dan Persatuan Sumatera (1922). 


Ini bertahun-tahun sebelum pelaksanaan Sumpah Pemuda tahun 1928. 


Pengadilan kemudian memvonisnya hukuman penjara kolonial untuk 3 tahun di pembuangan Nusakambangan. 


Rakyat menyambutnya dengan protes dan demonstrasi di mana-mana. 


Mereka menulis surat kepada Gubernur Jenderal sampai Ratu Wilhelmina. 


Rapat-rapat besar diadakan di mana-mana, di alun-alun, di Gereja-gereja. 


Reaksi itu memaksa Belanda mengurangi hukuman menjadi 15 bulan di penjara Cipinang, Jakarta.


Penghargaan

Pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Indonesia melalui SK Menteri Sosial RI No. POL. 677/67/PK, 2 Oktober 1967. (Demak MP Panjaitan/Pance)


Referensi

^ Castles, Lance. Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra: Tapanuli 1915-1940, (Jakarta:KPG, 2001).

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • MH Manulang Pendiri Surat Kabar Berbahasa Batak "Binsar Sinondang Batak"

Terkini

Iklan