Iklan

terkini

Kontroversi Politik Dinasti Dalam Demokrasi Indonesia, Ditulis Oleh : Topan JP.

Staff Redaksi GAPTA Cyber
11/01/23, 00:39 WIB Viewer Today Last Updated 2023-10-31T17:44:43Z

JAKARTA, GAPTACYBER.com - Apa yang dimaksud dengan politik dinasti?Dinasti adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari hanya bebarapa orang. Pengertian politik dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan disuatu negara.


Sedangkan politik Indonesia adalah kedaulatan rakyat/masyarakat yang termanifestasi dalam pemilihan parlemen dan presiden setiap lima tahun. Negara Indonesia menganut demokrasi konstitusional.


Politik Dinasti akhir akhir ini jadi perbincangan publik. Masalah ini muncul ketika Gibran akan diusung oleh Partai Gerindra sebagai Capres Prabowo, plus adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi ( MK ) oleh PSI terkait dengan ” Batas Usia Capres dan Cawapres “. PSI sendiri saat ini Jabatan Ketum dipegang oleh Kaesang yang nota benenya adik dari Gibran. Disisi lain Ketua MK dijabat oleh adik Ipar Jokowi.


Kondisi diatas, memang tidak dapat dipungkiri menimbulkan persepsi publik akan terciptanya Politik Dinasti. Berbagai Opinipun muncul baik dari kalangan akademis, mapun kalangan pengamat yang katanya dapat merusak Demokrasi Indonesia.


Namun, apabila kita melihat kebelakang politik dinasti ini sudah berjalan lama. Kitapun masih ingat dulu ada Gubernur salah satu daerah yang anaknya, saudaranya, hingga menantu, memiliki jabatan di DPRD, menjadi Kepala Daerah Atau Walikota di wilayahnya. Ada juga ketika masa jabatan Kepala Daerah selesai, isterinya maju menjadi Kepala Daerah dan banyak case seperti ini yang terjadi di Indonesia.


Politik Dinasti adalah kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Politik dinasti lazim digunakan oleh negara yang menganut sebuah sistem monarki.


Dalam sistem demokrasi, rakyat menjadi pemegang kedaulatan tertinggi. Setiap pergantian kekuasaan dilakukan melalui pemilihan umum, dimana rakyat yang memilih dan menentukan pemimpin selanjutnya. Abraham Lincoln pun mengatakan ” government of the people, by the people and for the people”.


Sebaliknya pada sistem monarki, Raja memiliki kedaulatan dalam pergantian kekuasaan. kita bisa melihat proses penobatan raja raja di Jogjakarta dan Solo. Raja menentukan penggantinya dengan pertimbangan garis keturunan atau kekeluargaan. karena itu Mohammad Hatta pun mengatakan ” demokrasi sebagai pergeseran dan pergantian kedaulatan raja menjadi kedaulatan rakyat “.


Dengan demikian, secara teoritis, politik dinasti telah berakhir dalam sistem demokrasi. Tidak adalagi raja atau penguasa yang dalam proses pergantian kekuasaan menunjuk anak atau keluarganya untuk melanjutkan kekuasaan dalam sistem demokrasi.


Dalam prosedural demokrasi seperti Pemilu dan Pilpres, kita mengenal prinsip, right to vote and right to be candidate, bahwa setiap orang punya hak untuk memilih dan dipilih. Karena itu, Presiden pun tidak bisa mewariskan kekuasaannya kepada siapapun termasuk anggota keluarganya.


Sejalan dengan itu, jika kita masih mempercayai suatu asas equality before the law, maka menjadi sah anak siapa pun, keturunan siapapun untuk mengikuti kontestasi Pemilu atau Pilpres karena kita semua sama di depan hukum. Jadi, anak siapapun, keluarga siapapun mempunyai hak politik yang sama dalam negara demokrasi.


Apabila kita lihat kebelakang sejarah Kemerdekaan Indonesia, maka peran anak mudapun tidak bisa diabaikan. Mereka memiliki peran yang sangat besar, seperti organisasi kepemudaan yang bernama Tri Koro Dharmo yang dibentuk oleh dr. R. Satiman Wiryosandjoyo, Kadarman, dan Sunardi di Jakarta 7 Maret 1915. Inilah organisasi pemuda pertama dimana dalam organisasi itu dipenuhi oleh anak-anak sekolah yang berasal dari Jawa dan Madura. Pada tahun yang sama organisasi ini berkembang dengan menggandeng beberapa organisasi dari daerah lain seperti pemuda Sunda, Bali dan Lombok.6 Pada tahun 1918 Tri Koro Dharmo dirubah menjadi Jong Java, karena sifatnya yang masih Jawa Sentris. Organisasi kepemudaan yang serupa kemudian bermunculan diantaranya: Jong Sumatranen Bond. Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Celebes, dll.


Pada 30 April sampai 2 Mei 1926 diadakanlah Kongres Pemuda I di Jakarta. Hasil dari kongres ini adalah dibentuknya PPPI (Perhimpunan PelajarPelajar Indonesia). Perkumpulan inilah yang kemudian menjadi inisiator diselenggarakannya Kongres Pemuda II. Kongres yang kedua ini jangkauannya lebih luas lagi menghimpun persatuan pemuda. Dilaksanakan di Jakarta tanggal 27- 28 Oktober 1928, kongres inilah yang kita kenal sampai hari ini dengan istilah hasil rumusannya berupa Sumpah Pemuda.


Indonesia, sudah berkali kali dipimpin oleh kelompok usia diatas 53 tahun ( hanya Jokowi saat menjadi Presiden usia 53 tahun ) toh kondisi ekonomi Indonesia tetap stagnan di dikisaran angka 5 ( secara ratas). apalagi mengingat geografi Indonesia yang terdiri banyak Pulau, tentunya membutuhkan stamina yang memadai untuk melakukan kunjungan ke pelosok daerah, juga perlu idea idea baru yang inovatif dan ini ada di ” anak muda “. apalagi Pemilu 2024 lebih didomasi oleh kelompok milenial.


Melihat hal hal diatas, maka Keputusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) sangat logis, mengingat dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) hanya mengatur batasan umur. sedangkan pengalaman sebagai Kepala Daerah atau sedang menjabat sebagai Kepala Daerah secara tegas tidak tersirat dalam UU dimaksud. Artinya ketika Mahkamah Konstitusi ( MK ) memutuskan bahwa batas minimal Calon Presiden berusia 40 tahun dan atau pengalaman sebagai Kepala Daerah atau sedang menjabat sebagai Kepala Daerah tentunya tidak bertentangan dengan UU Pemilu tersebut.


Keputusan MK juga bukan menjurus ke Politik Dinasti, terkucuali apabila Keputusan MK ini hanya berlaku untuk periode Pilpres 2024 saja. Atau kalau sosok Cawapres Prabowo langsung ditunjuk Jokowi selaku Presiden tanpa melalui proses Pemilu. Intinya apapun keputusan MK semuanya tergantung dari suara rakyat, karena kekuasaan ada di tangan rakyat. Keputusan MK harus dilihat sebagai perkembangan Demokrasi Indonesia kedepan. Toh saat ini sudah ada beberapa Kepala Daerah dengan usia dibawah 40 tahun.


Sebaliknya, Keputusan MK juga bukan kemunduran proses Demokrasi. Justru kemunduran Demokrasi itu secara nyata terlihat dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terutama di Pasal 240 Ayat 1 huruf g. Dalam pasal tersebut, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR dan DPRD. Walhasil, Pemilu 2019 lalu setidaknya ada 49 calon anggota legislatif yang merupakan mantan napi kasus korupsi. Dari jumlah itu, sebanyak 40 menjadi calon anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, sementara 9 lainnya sebagai calon anggota dewan perwakilan daerah (DPD).


Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851, pada Bab I Pasal 1 Undang-Undang dimaksud : “Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Inilah sebetulnya ” Kemunduran Demokrasi Indonesia ” yang sesungguhnya. Mau Bela Negara atau Bela Keluarga? ( SDJ )

Editor : Topan JP.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Kontroversi Politik Dinasti Dalam Demokrasi Indonesia, Ditulis Oleh : Topan JP.

Terkini

Iklan