JAKARTA, GAPTACYBER.com - Bapak Saya mengeluh melihat nilai-nilai Pergaulan zaman sekarang.
Karena nilai-nilai pergaulan sekarang ini sudah mengikuti filosofi ilmu politik, yang ditelan mentah-mentah oleh para Dosen Pertamanya, yang berkelanjutan hingga saat ini.
Filosofi Ilmu Politik yang dimaksud adalah “Tidak Ada Teman yang Abadi, yang Ada adalah Kepentingan Abadi”
Menurut bapak saya, Pepatah Pergaulan tahun 60an adalah “Taburlah Kebaikan Sebanyak-banyaknya, Engkau Akan Menuai Kebaikan Sebanyak-banyaknya pula.” begitulah ucapannya.
Dahulu, para orang kita berlomba berbuat baik, tidak ingin, jangankan bermusuhan, friksi saja tidak mau. Sehingga ada pepatah “Seribu Teman Terlalu Sedikit, Satu Musuh Terlalu Banyak”
Memotret dua pepatah di atas, dapat tergambarkan bagaimana pergaulan dengan asas “Gotong Royong” itu mendarah daging dalam pergaulan di Nusantara Tanah Impian ini, saat itu.
Tapi kini sudah menjadi minoritas, kalau tidak mau disebut nilai-nilai tersebut hampir punah.
Kalau Sekarang, Pepatahnya “Taburlah Kebaikan Sebanyak-banyaknya, Engkau Akan Menuai Malapetaka Sebanyak-banyaknya pula.”
Karena manusia sekarang menggunakan filosofi politik yang mengedepankan asas manfaat, dimana ada orang yang baik hati, maka mereka pantas dimanfaatkan.
Entah Agama mana yang memperbolehkan, atau menganjurkan Asas Manfaat ini. Buktinya semua orang menganggap hal ini sekarang wajar-wajar saja.
Nah, kalau dulu banyak sekali orang yang ingin menolong tanpa pamrih (saat Pelajaran Budi Pekerti masih ada sebagai mata pelajaran), Oh iya nyimpang sedikit, dan saat pelajaran Budi Pekerti diganti dengan pelajaran Agama, mulailah dikenal Tawuran Remaja antar Sekolah. Apakah ini sebuah kebetulan, atau sebuah revolusi pemahaman antara Mencintai Diri Sendiri (Budi Pekerti) vs Egosentris…
Singkat mengenai pemahaman “Mencintai Diri Sendiri” dalam pelaksanaan “Budi Pekerti” adalah untuk menumbuhkan “Empati pada Diri Sendiri” yang selalu berangkat dari diri sendiri. Contoh gampangnya “Kalau Tidak Mau Dicubit (Konteks Mencintai Diri Sendiri), Jangan Mencubit”
Pasca dihapusnya pelajaran “Budi Pekerti”, nilai- nilai Pancasila memang turun drastis, walaupun awalnya bergradasi, sehingga tidak terasa. Tapi seperti biasanya karakter Pancasila yang senkretis persis seperti kultur orang Nusantara pada umumnya, melawannya belakangan.
Nah kinilah saatnya…
Ya roda berputar, dari ramalan Sabdo Palon dan Naya Genggong (https://perpustakaan.tanahimpian.web.id/2012/01/sabdo-palon-dan-naya-genggong.html) saat pandemi adalah saat turunnya atau dilawannya kezaliman tersebut di Nusantara Tanah Impian ini.
Pergeseran tersebut akan dapat Anda saksikan dari sekarang hingga 2024 nanti, bagaimana Gerakan Masyarakat Bela Negara akan sebagai Garda Terdepan Bhineka Tunggal Ika. (Topan JP/SDJ)