Singkatnya, bajingan adalah sebutan untuk orang yang mengendalikan gerobak sapi. Tentu kata ini sangat jauh dari apa yang dimaknai sekarang sebagai makian atau umpatan.
Bahkan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata bajingan diartikan sebagai penjahat, pencopet atau makian untuk orang yang kurang ajar.
Tentu makna bajingan sebagai produk budaya masyarakat Jawa dengan makna menurut KBBI telah bergeser sangat jauh.
Dalam buku “Mengulas yang Terbatas, Menafsir yang Silam” karya Mahasiswa Prodi Sejarah Universitas Sanata Dharma 2015, bajingan dalam KBBI merujuk kepada kata dasar bajing yang berarti tupai, yakni binatang pengerat yang sering mencuri kelapa dan dianggap sebagai pengganggu masyarakat.
Kata bajing kemudian diturunkan menjadi kata bajingan untuk menggambarkan sifat jahat dari seseorang yang menjadi sumber keresahan lingkungan masyarakat.
Penafsiran makna KBBI ini yang kemudian banyak dicerna masyarakat Indonesia tanpa memandang sejarah awal mula munculnya kata tersebut.
“Bajingan itu bagusing jiwo angen-angen ning pangeran. Jadi pangeran itu seneng arepo sopir gerobak bajingan ning watake apik. Eling karo pangeran eling karo sembahyang”
Sedangkan kata tolol seringkali dianggap sebagai kata kasar, sebenarnya asal usul kata ini tidaklah begitu buruk. Kata tolol berasal dari bahasa Jawa yang artinya adalah “tidak mengerti” atau “tidak paham”. Kata ini kemudian berkembang dalam bahasa Indonesia dengan makna yang lebih negatif.
Meskipun kata tolol seringkali dianggap sebagai kata negatif, sebenarnya kata ini bisa diartikan sebagai seseorang yang memiliki semangat yang kuat dan tidak takut untuk mencoba hal baru. Jadi, jangan takut untuk menjadi tolol dan terus bersemangat dalam meraih kesuksesan!
Bajingan dalam arti penjahat sebagaimana kamus “Bausastra Jawa-Indonesia”, hingga sekarang masih ada, tapi telah bertransformasi menjadi bajing loncat. Bukan bajing luncat lagu pasundan, tapi bajingan yang meloncat dari satu truk ke truk lainnya untuk mencuri muatan dalam truk. Di sekitar pelabuhan Tanjung Priok misalnya, kini masih ditemukan bajing loncat semacam itu. Mereka dengan tenang mengambil besi-besi yang dimuat truk tersebut, ketika jalanan macet. Bajingaaaan!
Di Surakarta yang dikenal sebagai kota budaya, makian bajingan sudah diperhalus menjadi bajindhul atau bajinguk. Dengan dieditnya makian tersebut, nilai kekasarannya jadi menurun, apa lagi jika diucapkan pada kawan akrabnya. Yang dimaki banjindhul atau bajinguk hanya tertawa saja. Ini sama persis dengan asu yang bermakna anjing, ketika berubah jadi asyu dan diucapkan oleh budayawan "BK", lawan bicaranya ngekek (tertawa saja)
Jika "RG" tega menyebut bajingan tolol, sebetulnya yang sudah demikian populer adalah istilah bajingan tengik. Menjadi pertanyaan kemudian, apakah bajingan itu jenis makanan sehingga bisa dimakan? Sebab yang bisa tengik itu hanya makanan berminyak seperti wajik, apem, serabi dan bakpia Pathok, Yogyakarta. Nah, siapa doyan bajingan tengik? Dipanasi atau digoreng lagi pun, takkan ada yang doyan.
Sedangkan Jokowi memainkan langkah-langkah baru perpolitikan di Indonesia dengan standard yang tinggi tidak semua dapat mencapainya, semakin diinjak semakin tinggi. (Red/Sdj)